September 21, 2018

Sesekali , mainlah ke kuburan (come visit the graveyard)

designed by freepik

Mainlah ke kuburan dan dengarkan suara-suara mereka dalam kubur yang lirih bilang:
..
"Yaa Rabb, kembalikan lah kami ke dunia. Kami akan berbuat baik, banyak sedekah, dan khusyuk ibadah."
..
Namun waktu mereka sudah habis. Tak ada lagi kesempatan ke dua untuk balikan dengan dunia.
..
"Hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan."
(Qs. Al Mu'minuun : 99-100)
..
Kita, mumpung belum di posisi mereka, maka tak ada alasan untuk leha-leha dengan dunia. Jangan sampai terlalu nyaman dan baper dibuatnya sampai-sampai lupa bahwa kelak kita akan 'pulang'.

Dikutip dari broadcast WA
.

September 3, 2018

Kisah Jenazah yang disholawati 70.000 Malaikat

designed by freepik
Kisah ini diriwayatkan oleh Anas bin Malik r.a. : Pada suatu pagi Rasulullah SAW bersama dengan sahabatnya Anas Bin Malik R.A. melihat suatu keanehan. Bagaimana tidak, matahari terlihat begitu redup dan kurang bercahaya seperti biasanya.

Tak lama kemudian Rasulullah SAW dihampiri oleh Malaikat Jibril.
Lalu Rasulullah SAW bertanya kepada Malaikat Jibril : 

"Wahai Jibril, kenapa Matahari pagi ini terbit dalam keadaan redup? Padahal tidak mendung?"

"Ya Rasulullah, Matahari ini nampak redup karena terlalu banyak sayap para malaikat yang menghalanginya." jawab Malaikat Jibril.

Rasulullah SAW bertanya lagi : "Wahai Jibril, berapa jumlah Malaikat yang menghalangi matahari saat ini?"

"Ya Rasulullah, 70 ribu Malaikat." jawab Malaikat Jibril.

Rasulullah SAW bertanya lagi : "Apa gerangan yang menjadikan Malaikat menutupi Matahari?"

Kemudian Malaikat Jibril menjawab : "Ketahuilah wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah SWT telah mengutus 70 ribu Malaikat agar membacakan shalawat kepada salah satu umatmu."

"Siapakah dia, wahai Jibril?" tanya Rasulullah SAW.

"Dialah Muawiyah...!!!" jawab Malaikat Jibril.

Rasulullah SAW bertanya lagi : "Apa yang telah dilakukan oleh Muawiyah sehingga saat ia meninggal mendapatkan kemuliaan yang sangat luar biasa ini?"

Malaikat Jibril menjawab : "Ketahuilah wahai Rasulullah, sesungguhnya Muawiyah itu semasa hidupnya banyak membaca Surat Al-Ikhlas di waktu malam, siang, pagi, waktu duduk, waktu berjalan, waktu berdiri, bahkan dalam setiap keadaan selalu membaca Surat Al-Ikhlas."

Malaikat Jibril melanjutkan penuturannya : "Dari itulah Allah SWT mengutus sebanyak 70 ribu malaikat untuk membacakan shalawat kepada umatmu yang bernama Muawiyah tersebut."

SubhanAllah ..
Walhamdulillah ..
Wala ilaha illallah ..
Wallahu akbar.

Rasulullah SAW bersabda : ''Apakah seorang di antara kalian tidak mampu untuk membaca sepertiga Al-Qur'an dalam semalam?" 

Mereka menjawab, "Bagaimana mungkin kami bisa membaca sepertigai Al-Qur'an?

Lalu Nabi SAW bersabda, "Qul huwallahu ahad itu sebanding dengan sepertiga Al-Qur'an.'' (H.R. Muslim no. 1922)

Subhanallah.. Semoga kita dapat mengambil pengetahuan bermanfaat yang bernilai ibadah lewat tulisan ini dan mengamalkan dalam kehidupan sehari - hari.

Aamiin ya Rabbal'alamin

Mengapa Tidak Telepon Ayah? - (agar ayah-bunda tidak ditelantarkan anak)

freepik/flaticon
Cerita ini diceritakan seorang perempuan, sebut saja ibu UQ kepada saya. Perempuan ini sudah menikah dan punya anak. Tapi yang diceritakannya adalah tentang orangtuanya sendiri. 

Cerita ini bagi saya sungguh membuat pikiran saya merenung panjang. Apakah saya akan menjadi orangtua yang secara tidak sengaja atau tidak mendapat perlakuan begini kelak? Dan ini cerita ini saya pikir patut diketahui oleh banyak para ayah lain di dunia. 

Assalamualaikum...Abah, saya ingin berbagi cerita, Ayah dan Ibu sekarang sudah sepuh, kami 4 orang anak-anaknya (3 laki-laki dan 1 perempuan yaitu saya) sudah berkeluarga semua dan tinggal terpisah dengan mereka. Pada suatu hari Ayah kami protes terhadap Ibu dan ini yang dikatakannya” 

Mengapa setiap anak-anak telepon, lalu telepon itu yang jawab Ayah, selalu yang pertama diucapkan anak-anak ‘Ibu mana pa? Ibu sehat pa?’ atau ‘Pa maaf mau berbicara dengan Ibu’, selalu yang dicari Ibunya. Sedangkan saya sebagai Ayahnya yang menjawab telepon ditanya kabarnya pun tidak.” 

Begitulah cerita Ibu kepada kami berempat anak-anaknya. Tanpa kami sadari memang seperti itu adanya, Ibu adalah sangat berarti bagi kami dan kami anak-anaknya lebih dekat dan lebih nyaman dengan Ibu. 

Dengan bijak Ibu memberi saran kepada kami agar lebih peduli dengan Ayah, di hari tuanya setelah 10 tahun lalu pensiun, Ayah tidak banyak kegiatan. Sehingga, Ayah sering merasa kesepian. 

Kami anak-anak bukan tidak sayang dengan Ayah. Bagi kami Ayah dan Ibu sama-sama kami sayangi. Permasalahannya dari kecil kami dekat dengan Ibu karena 90% kami dirawat dan dididik oleh Ibu sebagai Ibu Rumah Tangga. 

Ayah yang seorang aparat, waktunya banyak tercurah untuk pekerjaannya sebagai abdi negara. Sehingga, sering Ayah pulang larut malam bahkan hari libur sekalipun Ayah masih harus dinas. Bisa kita petik hikmahnya ya Abah, bahwa sesibuk apapun peran Ayah dalam mendidik anak-anaknya juga penting. 

Sewaktu Ayah muda tidak menyadari bahwa Ayah jarang sekali bercengkerama atau berdiskusi bersama kami anak-anaknya, waktunya dihabiskan di luar rumah dengan dalih pekerjaan. Hal ini membuat kami anak-anaknya tidak dekat. 

Kini, Ayah di masa tuanya mengisi hari-hari di rumah merasa kesepian dan merasa anak-anaknya jauh darinya. Semoga para Ayah di luar sana dapat membaca cerita yang kami alami ini serta dapat mengambil pelajaran dari cerita ini. 

Dan untuk Ayahku tercinta maafkan atas sikap kami Ayah, sungguh bukan maksud kami tidak peduli, kami berjanji untuk lebih memperhatikan Ayah. Bagi kami Ayah dan Ibu adalah segalanya. Kami harap di hari tuanya Ayah dan Ibu dapat berbahagia menyaksikan anak-anaknya berhasil dalam karier dan rumah tangganya dan semoga kami dapat menjadi orangtua yang baik bagi anak-anak kami. “ 

Ayah Ibu, perasaaan itu tidak bisa dibohongi. Kasih sayang dan kecintaan (mahabbah) bisa terjalin dimulai dari hal sederhana: kedekatan secara emosional. Pun demikian juga kedekatan orangtua anak, kedekatan emosional dapat tercipta dengan adanya interaksi yang intens orangtua dengan anak. Yaitu, orangtua yang sering hadir bersama anak, bukan hanya di dekat anak. Bersama anak artinya orangtua saat di dekat anak tidak dicampuri urusan bertiga dengan urusan dapur, cucian, pekerjaan, facebook, bbm-an, laptop, televisi dan seterusnya. 

Kebersamaan dengan anak adalah awal untuk menumbuhkan perasaan kasih sayang anak terhadap orangtuanya. Ketika tersedia kebersamaan, tersedia pula lebih mudah perhatian. 

Cerita lain, seorang ibu di Lhokseumawe, Aceh, bercerita kepada saya bahwa saat ini orangtua terbaring di rumah sakit. Kira-kira begini yang diceritakan beliau kepada saya: “Saya memang memijit ayah saya. Saya memang merawat dan menunggui ayah saya di rumah sakit. Tapi, Abah bagaimana caranya menumbuhkan perasaan sayang saya dengan ayah saya

Rasanya saat saya memijit ayah saya, hambar terasa. Seperti tanpa rasa. Ayah tahu, waktu kecil memang saya dididik sangat keras oleh ayah saya. Lalu saya pun hidup jauh dari ayah saya. Sehingga setelah ayah saya tua, memang saya masih merawat ayah, tapi kok gak ada rasa. Bagaimana Abah agar saya bisa tumbuh perasaan sayang dengan orangtua saya? Apakah saya berdosa abah?” 

Saya tidak ingin menanggapi pertanyaan tersebut di sini. Karena saya sudah sampaikan secara privat pendapat saya tentang ini kepada Ibu di Lhokseumawe ini. Yang saya ungkapkan di sini adalah: mengapa bisa terjadi perasaan “tanpa rasa” terhadap orangtua tidaklah muncul dengan sendirinya. Lihat bagaimana saja interaksi orangtua dengan anak sewaktu anak-anaknya masih kecil. 

Tetapi, sekali lagi, perasaan tidak bisa dibohongi. Bahwa ibu tadi tetap merawat orangtuanya, bisa jadi hanya karena kepatuhannya pada Allah. Bisa jadi hanya karena ingin mengikuti “SOP” yang sudah diberikan Allah tentang birrul walidain (berbakti pada kedua orangtua). Tetapi tumbuh perasaan kasih sayang atau tidak, ditentukan bagaimana interaksi orangtua dengan anaknya sendiri waktu kecil. 

Jadi, ayah bunda, jika tidak ingin “ditelantarkan anak”, periksa kembali apakah selama ini kita sudah tidak menelantarkan anak kita? “Jualan darah dan keringat” tidak berarti otomatis anak kita akan dekat dengan kita secara emosional kan? 

Apakah yang dimaksud jualan “darah” dan “keringat”? Sebagian orangtua agar anaknya patuh pada orangtua seringkali menjual dua hal tadi dengan kalimat seperti ini “Mama yang melahirkan kamu dengan darah!” atau “Ayah sudah bersusah payah mencari nafkah, berkeringat, demi kalian, demi memenuhi kebutuhan dan masa depan kalian!” Tidaklah berarti otomatis anak-anak kita akan dapat “terbeli” perasaan sayangnya kepada kita.

Bagi para ayah, mencari nafkah adalah kewajiban. Tapi apakah setelah mencari nafkah gugur kewajiban kita yang lain: mendidik anak? Apakah setelah kita menunaikan sholat, otomatis kewajiban kita shaum di bulan Ramadhan gugur? Atau sebaliknya? Tentu tidak kan? Periksa kembali sejauh mana keterlibatan kita pada pendidikan anak-anak kita. Apakah kita turut berkontribusi atau hanya sekadar memberi “fasilitas” pada anak untuk mendapatkan pendidikan dari orang lain? 

Sumber: Buku “Renungan Dahsyat untuk Orangtua” Penerbit Khazanah Intelektual, karya Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari 

Latest Post

Bridesmaid: Ekspektasi vs. Realita, Mengapa Terkadang Tidak Sesuai?

Bridesmaid: Ekspektasi vs. Realita, Mengapa Terkadang Tidak Sesuai? Pernikahan adalah momen paling berharga dalam kehidupan,  Tetapi terkada...